Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Musik dan Seni Jadi Senjata Perlawanan Kaum Marjinal

Siapa bilang seni cuma milik galeri mahal dan konser elite? Di sudut-sudut kota yang sering dilupakan, di lorong-lorong sempit yang jarang dilirik kamera berita, musik dan seni justru hidup dan bernyawa. Bukan sekadar hiburan, bagi kaum marjinal, seni adalah senjata. Senjata yang tajam bukan untuk melukai, tapi untuk menyuarakan. Untuk bertahan. Untuk bangkit.


Di tengah realitas keras yang penuh ketidakadilan—penggusuran, pengangguran, diskriminasi—seni hadir sebagai perlawanan yang lembut tapi menghentak. Kita bisa lihat anak-anak muda di kampung kota membuat lagu rap tentang harga beras, atau ibu-ibu yang menari dan mendongeng soal tanah mereka yang dirampas. Semua itu bukan hanya ekspresi, tapi perjuangan.

Lihat saja mural-mural di kolong jembatan Jakarta, atau puisi-puisi yang dibacakan di acara rakyat. Semuanya lahir dari rasa frustasi, tapi juga harapan. Seperti kata Butet Kartaredjasa, seniman teater yang vokal menyuarakan keadilan sosial, “Seni adalah suara orang kecil. Ketika mereka tidak bisa bicara lewat saluran resmi, mereka akan bicara lewat lukisan, puisi, dan lagu.” Dan benar saja, suara yang diredam di ruang parlemen justru menggema di jalanan.

Banyak kelompok seni jalanan kini menjelma menjadi motor perubahan sosial. Misalnya komunitas Hip-Hop Kampung di Yogyakarta, yang aktif bikin lagu soal korupsi, kemiskinan, dan hak pendidikan. Mereka tidak pakai alat mahal, hanya beat sederhana dan lirik yang tajam. Tapi dampaknya? Luar biasa. Anak-anak muda mulai kritis, mulai peduli.

Di Bandung, ada juga komunitas mural yang menggambar potret warga yang tergusur. Mereka menolak diam. Dengan kuas dan cat, mereka melawan lupa. Dan yang menarik, aksi seni ini bukan hanya menyentuh hati, tapi juga viral di media sosial. Bahkan beberapa mural sempat dijadikan cover majalah alternatif dan dibahas di forum-forum kampus.

Dari sini kita tahu, seni itu punya kekuatan luar biasa. Ia bisa menyatukan, menyadarkan, bahkan memicu gerakan. Tak perlu jadi politisi untuk memperjuangkan hak. Kadang, cukup dengan satu lagu jujur, satu gambar sederhana, satu pertunjukan teater kecil di gang, dan dunia bisa mendengar.

Jadi, kalau kamu merasa kecil dan tak punya kuasa, coba tengok seni. Mungkin di sanalah kekuatanmu berada. Karena sejatinya, ketika dunia menutup telinga, seni bisa jadi teriakan yang paling lantang.

Posting Komentar untuk "Ketika Musik dan Seni Jadi Senjata Perlawanan Kaum Marjinal"